Prospek Perawat di Masa Depan,
Bagaimana Menyikapi?
BAGAIMANA KITA MENYIKAPI DAN BAGAIMANA PROSPEK PERAWAT DI MASA DEPAN.
PERTAMA, PENINGKATAN JENJANG PENDIDIKAN (PERAWAT)
Solusi untuk menjawab pertanyaan di atas adalah dengan berbenah diri. Memperbaiki kualitas lulusan perawat
melalui jenjang pendidikan Perawat (S1 Keperawatan), bukan hanya menambah
jumlah Perawat tetapi memperbaiki kualitas Perawat melalui perbaikan insitusi
pendidikan penyelenggara program Perawat. Institusi harus memperhatikan PP
19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, sebagai tindak lanjut berlakunya
SISDIKNAS th. 2003. Dalam UU No 20/2003, pendidikan diploma masuk dalam jenis
pendidikan vokasi sedangkan pendidikan perawat menempati jenis pendidikan
profesional. Dengan memperhatikan 5M, M1: Man – kualitas tenaga pengajar;
M2: Material – kecukupan sarana prasaran pembelajaran, M3 – Method – Kurikulum
dan metode pmebelajaran yang sesuai dengan tekad KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi); M4 – Money – Anggaran untuk proses belajar mengajar dan penyediaan
resources; dan M5 – Mutu /Marketing – kualitas dan
upaya institusi untuk menangkap peluang pasar. Tanggung jawab moral
institusi untuk lebih mengedepankan profesionalisme, bukan untuk orientasi
kapitalisme semata. Bukan hanya untuk menghantarkan lulusan Perawat
sampai ke pintu gerbang, tetapi mengantarkan sampai ke gerbang memasuki dunia kerja.
KEDUA, MENATA PENDIDIKAN PERAWAT SECARA PROFESIONAL
Langkah awal yang perlu ditempuh oleh Perawat profesional adalah
mengembangkan Pendidikan Tinggi Keperawatan dan memberikan kesempatan kepada
para perawat untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga
diharapkan pada akhir tahun 2015, semua pendidikan perawat yang ada di rumah
sakit sudah memenuhi kriteria minimal sebagai perawat profesional (Perawat).
Pada saat ini pelbagai upaya untuk lebih mengembangkan pendidikan
keperawatan profesional memang sedang dilakukan dengan mengkonversi pendidikan
SPK ke jenjang Akademi Keperawatan dan dari lulusan Akademi Keperawatan
diharapkan dapat melanjutkan ke jenjang S1 Keperawatan (Perawat). Namun prinsip
asal konversi, asal cepat, asal dapat ijazah Perawat, dan asal-asalan menjadi kelabunya
masa depan keperawatan. Hal ini menjadi kendala dalam upaya mempercepat
profesionalisme keperawatan. Disana sini masih ditemukan berbagai penyimpangan
dalam penerapan kurikulum, proses pembelajaran yang tidak sesuai dan tidak
mendukung. Perlu juga diadakan penataan yang mendasar dari Program
Pendidikan Perawat dengan lebih menekankan pada upaya meningkatkan kualitas
lulusan dan disamping mengembangkan kuantitas pendidikan.
Melihat fakta di atas maka dituntut peran dosen/ staf pengajar untuk lebih
memahami relevansi ilmu-ilmu dasar dan ilmu keperawatan dalam mendukung
pelaksanaan asuhan keperawatan kepada klien. Sejak mahasiswa mendapatkan ilmu
Dasar isi kurikulum sudah diorientasikan dan dikaitkan dengan peran perawat
dalam melaksanakan asuhan keperawatan, yaitu dalam membantu, mencegah,
meningkatkan, dan mengembalikan fungsi yang terganggu akibat sakit yang dialami klien sehingga klien
dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Penekanan dan pembekalan kompetensi perawat dengan AKSI:
Attitude, Knowledge, Skill dan Insight.
KETIGA, KAJIAN BATANG TUBUH ILMU KEPERAWATAN DAN STANDAR KOMPETENSI PERAWAT
Ketidakjelasan batang tubuh Ilmu Keperawatan menjadikan penilaian
masyarakat tentang Keperawatan (Asrul Azwar, 1999). Pertanyaan yagn sering
timbul adalah apakah keperawatan sebagai ilmu? Meskipun pernyataan
tersebut dibantah oleh Chitty (1997) bahwa “nursing is as ascience and art,
separated from medicine science…..” CHS (1999) juga memperkuat
pernyataannya bahwa ilmu keperawatan adalah sebagai ilmu, mereka mengemukakan
bahwa ilmu keperawatan sendiri (dasar, anak, maternitas, medikal bedah, jiwa ,
dan komunitas). Aplikasinya menggunakan pendekatan dan metode penyelesaian
masalah secara ilmiah ditujukan untuk mempertahankan, menopang, memelihara dan
meningkatkan integritas seluruh kebutuhan dasar manusia.” Tetapi menyimak fakta
yang ada di lapangan di Indonesia, pernyataan tersebut menarik untuk disimak.
Banyak perawat yang tidak tahu dan tidak jelas tentang ilmu keperawatan yang
dimaksudkan. Dari pengertian tersebut membawa dampak terhadap isi
kurikulum pada program pendidikan tinggi keperawatan. Institusi Pendidikan
Tinggi Keperawatan belum mampu mengenalkan kejelasan ilmu keperawatan kepada
peserta didik. Sehingga peserta didik mendapatkan orientasi ilmu dasar hampir
sama seperti yang diajarkan pada program pendidikan kesehatan lain (kedokteran
umum, dokter gigi, dan kesehatan masyarakat). Hal ini berakibat terhadap
ketidakjelasan peran perawat dalam memberikan asuhan kesehatan kepada klien.
Kondisi yang lebih parah adalah sampai dengan saat ini, manakala profesi
lain sudah tinggal landas, perawat masih tertinggal di landasan. Perawat masih
berkutat terhadap belum jelasnya lingkup atau batang tubuh ilmu keperawatan.
Asrul Azwar (1999) mengatakan bahwa “body of knowledge” ilmu
keperawatan belum diakui dan belum tersosialisasikan dengan baik. Perawat belum
bisa menunjukkan jati dirinya sebagai suatu profesi yang mempunyai batang tubuh
ilmu tersendiri. Sebagian
perawat masih belum melaksanakan riset yang disebabkan; keterbatasan waktu, tidak adanya anggaran dan “policy” yang tidak
menguntungkan profesi perawat. Hal tersebut menjadikan suatu kontribusi terhadap
mendungnya pengembangan kajian ilmu keperawatan saat ini.
Berlandaskan falsafah dan paradigma keperawatan maka nilai / makna yang
dapat dikembangkan dari keperawatan dalam pengembangan keilmuan meyakini bahwa
keperawatan mempunyai 3 nilai utama yang berhubungan satu dengan yang lainnya,
meliputi: (1) seni (art), (2) Ilmu (Science) dan (3) profesi
(Profession).
A. Keperawatan sebagai suatu seni (art).
Seni (art) merupakan refleksi dari perasaan dan persepsi, sebab inti dan
esensi keperawatan adalah interaksi interpersonal. Seni
sebagai bagian dari keperawatan yang dapat diekspresikan dengan berbagai cara
antara lain; sensitivitas dan responsif/tanggap perasaan perawat kepada klien,
kemampuan perawat (art) untuk memahami bahasa nonverbal (perilaku) klien dalam
mengungkapkan rasa cemas atau nyeri. Walaupun sebenarnya perilaku ini dapat
dipelajari secara ilmiah (scientifically), perawat juga dapat belajar
melalui penemuan dan praktik intuisi sebagai suatu seni. Sebagaimana yang
ditulis oleh Donahue, 1985, “ Keperawatan bukan hanya suatu tehnik tetapi
proses yang berhubungan dengan berbagai elemen antara lain ; jiwa, fikiran dan
imajinasi. Keseluruhan elemen tersebut merupakan bagian yang sangat penting
dalam meningkatkan kreatifitas imajinasi, sensitivitas jiwa, dan pemahaman /
kemampuan berfikir yang merupakan dasar utama dalam memberikan asuhan
keperawatan (care) yang efektif”. Gold (1978) menyatakan “kemampuan dalam
memberikan asuhan keperawatan (caring) dipengaruhi oleh kemampuan dalam
mengekspresikan diri, ekspresi merupakan bagian / elemen dari pada seni (art)”.
Seni atau kemampuan ekspresi diri merupakan hal yang penting untuk
mengembangkan kemampuan seseorang sebagai sesuatu yang unik. Intuisi
keperawatan harus diidentifikasi dan didukung sebagai seni dalam keperawatan.
Dimasa yang akan datang keperawatan adalah seni (art) menggabungkan
antara perkembangan ilmu keperawatan dan tehnologi keperawatan (IPTEK
Keperawatan) dengan kreativitas seni keperawatan.
B. Keperawatan sebagai suatu ilmu (Science).
Body of Knowledge adalah unsur utama dalam mengembangkan pendidikan keperawatan. Diawali
pernyataan oleh F. Nightingale (1859) sebagai orang pertama yang
mengidentifikasi bahwa keperawatan sebagai suatu disiplin ilmu yang terpisah
dengan ilmu medis (kedokteran). Untuk membuktikan pernyataan
tersebut, maka beberapa pakar teori keperawatan berupaya untuk mendifinisikan
keperawatan kedalam suatu konsep. Dari konsep-konsep keperawatan tersebut akan
diketahui dan ditentukan bidang ilmu dan rumpun ilmu keperawatan.
Konsep keperawatan dikembangkan berdasar pada filosofi dan paradigma
keperawatan. Pada filosofi keperawatan ada 3 (tiga) unsur utama yang menjadi
keyakinan dan proses perfikir kritis dalam mengembangkan ilmu keperawatan yaitu
; humanism, holism and care. Dari ketiga unsur utama diyakini bahwa
manusia “person” merupakan pusat / sentral asuhan keperawatan dan “care”
sebagai dasar / landasan dalam praktik / asuhan keperawatan. Berdasarkan
filosofi keperawatan, maka dikembangkan empat konsep utama paradigma
keperawatan yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan keperawatan. Manusia
dipandang sebagai individu yang bersifat holistic dan humanistic yang dalam
kehidupannya selalu berinteraksi dengan lingkungan baik internal maupun
eksternal yang akan berpengaruh terhadap status kesehatannya, asuhan /
pelayanan keperawatan merupakan praktik / tindakan keperawatan mandiri yang
diberikan karena adanya ketidak mampuan manusia dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya.
Keperawatan sebagai suatu profesi dan berdasarkan pengakuan
masyarakat adalah ilmu kesehatan tentang asuhan / pelayanan keperawatan (The
health science of caring) (Lindberg, 1990, hal 40). Caring adalah
memberikan perhatian atau penghargaan kepada seorang manusia. Caring
juga dapat diartikan memberikan bantuan kepada individu atau sebagai advokat
pada individu yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya.
Keperawatan sebagai ilmu kesehatan tentang asuhan /
pelayanan keperawatan adalah “asuhan / pelayanan keperawatan sebagai
pendukung / bagian dalam ilmu kesehatan”, sama halnya dengan seni sebagai
bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu keperawatan (Lindberg, 1990, hal 40) .
C. Keperawatan sebagai suatu profesi (profession).
Keperawatan sebagai suatu profesi harus mengacu pada kriteria profesi
antara lain : tubuh pengetahuan (Body of Knowledge ) yang
berbatas jelas, pendidikan khusus berbasis “ keahlian” pada jenjang
pendidikan tinggi, memberikan pelayanan pada masyarakat dan praktik sesuai
bidang profesi, memiliki perhimpunan dalam bidang keprofesian, memberlakukan
kode etik keprofesian dan motivasi bersifat “altruistik”. Sampai
saat ini profesi keperawatan dalam program penataan dan pemantapan
keseluruhan dari kriteria profesi sehingga akuntabilitas dan otonomi sebagai
suatu profesi dapat dilaknakan secara optimal. Salah satunya dengan memantapkan
tubuh pengetahuan ilmu keperawatan sesuai dengan filosofi dan paradigma
keperawatan, disamping itu juga menata jenjang studi / pendidikan keperawatan
di pendidikan tinggi.
KEEMPAT, PENATAAN PRAKTIK KEPERAWATAN
Sejalan dengan akan diundangkannya praktik keperawatan, maka
diperlukan standar kompetensi profesi, salah satunya standar kompetensi perawat
(SKP) yang memiliki pengakuan secara nasional. SKP Nasional Indonesia mengacu
pada kerangka kerja Konsil Keperawatan Internasional (ICN, 2003) yang
menekankan pada perawat generalis yang bekerja dengan klien individu, keluarga
dan komunitas dalam tatanan asuhan kesehatan di rumah sakit dan komunitas
serta bekerja sama dengan pemberi asuhan kesehatan dan sosial lainnya. Dalam
kerangka kerja ICN, kompetensi perawat generalis dikelompokkan menjadi 3 judul komptensi utama,
yaitu: (1) praktik keperawatan profesional, etik, legal dan bertanggung jawab;
(2) Pemberian asuhan dan manajemen keperawatan; dan (3) Pengembangan
profesional.
Peran profesional perawat tidak akan bisa dicapai, kalau model praktik
keperawatan di pelayanan belum ditata secara profesional, minimal pada
penerapan model Tim atau primer. Sebagian besar rumah sakit di Indonesia model
pelayanan keperawatan yang diterapkan adalah “fungsional” dimana perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan kepada klien secara terfragmentasi misalnya
perawat pada hari tugasnya hanya melaksanakan peran merawat luka kepada semua
pasien tanpa mengindahkan kebutuhan klien yang lainnya. Model seperti ini
bertentangan dengan filosofi keperawatan, sebagaimana disampaikan Chity (1997)
yaitu “humanism, holism, and care.”
Model praktik keperawatan profesional yang dilaksanakan perawat di tatanan
pelayanan keperawatan, masih menjadi suatu abstraksi. Pemerintah selalu
menekankan bahwa model praktik keperawatan harus ditata dengan baik, tetapi
kenyataan yang ada dilapangan masih merupakan suatu angan-angan. Dari pandangan
saya, keadaan tersebut tidak terlepas dari sistem yang diterapkan, budaya kerja
yang sudah mendarah daging enggan untuk menerapkan suatu perubahan. Dimana
perawat dituntut untuk menata model praktik yang baik, di satu sisi terjadi
beberapa Resistensi? Anggaran untuk pos keperawatan dikurangi, hal ini juga
ditunjang oleh kurangnya keterlibatan perawat dalam membuat keputusan
strategis.
Pelayanan asuhan keperawatan yang optimal akan terus sebagai suatu tuntutan
bagi organisasi pelayanan kesehatan. Saat ini adanya suatu keinginan
untuk merubah sistem pemberian pelayanan kesehatan ke sistem desentralisasi.
Dengan meningkatnya pendidikan bagi perawat, diharapkan dapat memberikan arah
terhadap pelayanan keperawatan berdasarkan pada issue di masyarakat.
Sejak diakuinya keperawatan sebagai profesi dan ditumbuhkannya Pendidikan
Tinggi Keperawatan (DIII Keperawatan, PSIK) dan berlakunya Undang-undang No. 36 tahun 2009, dan PERMENKES
No. 148/2010; proses registrasi dan legislasi keperawatan, sebagai bentuk pengakuan
adanya kewenangan dalam melaksanakan praktik keperawatan profesional. Ada 4
model praktik yang diharapkan ada, yaitu model praktik di rumah sakit, di
rumah, berkelompok, dan individual. Akan tetapi pelaksanaan PERMENKES tersebut
masih perlu mendapatkan persiapan yang optimal oleh profesi keperawatan.
Kita juga harus berhati-hati dengan berlakunya UU Praktik Kedokteran, mau
tidak mau, suka tidak suka undang-undang tersebut membawa konsekuensi terhadap
praktik keperawatan.
PENATAAN JENJANG KARIER SESUAI KOMPETENSI YG DIPERSYARATKAN
Jenjang karir profesional berbasis kompetensi dicapai melalui pendidikan
formal dan pendidikan berkelanjutan. Prinsip pengembangan karir meliputi
kualifikasi, penjenjangan, fungsi utama, kesempatan, standar profesi dan
komitmen pimpinan. Penjenjangan mempunyai makna tingkatan kompetensi untuk
melaksanakan asuhan keperawatan yang akuntabel dan etis sesuai batas
kewenangan.
Penjenjangan karir profesional perawat secara umum meliputi:
1. Perawat Klinik (PK)
2. Perawat Manager (PM)
3. Perawat Pendidik (PP)
4. Perawat Peneliti/ Riset (PR)
Sistem promosi karir berdasarkan kualifikasi (credentialing) harus
memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1. Pendidikan dasar keperawatan minimal DIII (diploma III)
2. Pengalaman kerja di area klinik
3. Program PBP/ Sertifikasi
4. Uji Kompetensi Nasional
5. Penataan ”job value/ reward system”
BAGAIMANA PROSPEK BEKERJA DI PASAR GLOBAL
Awalnya sebagian besar alumni pendidikan ini, lebih banyak bekerja di
bidang pendidikan (menjadi dosen), atau memilih bekerja menjadi perawat di RS .
Namun saat ini semakin banyak pilihan untuk bekerja selain di pelayanan.
Tempat lahan kerja Perawat yang ada saat ini adalah :
- Menjadi Perawat di RS Negeri/Swasta (Cepat mencapai jabatan struktural; Kepala Ruangan, Bidang Keperawatan, Diklat dsb)
- Menjadi Dosen AKPER/AKPER/FIK di Negeri (PNS) atau di Swasta
- Bekerja di Asuransi Kesehatan, bagian klaim
- Medical Representative (Detailer) di Farmasi
- Bekerja di Penerbit Buku Kesehatan
- Menjadi Perawat di luar negeri
- Peneliti
- Pekerjaan lain
Prospek Kerja Perawat Di Luar Negeri
Inggris butuh 10.000, Jepang butuh 20.000, negara-negara Timur Tengah juga
butuh ribuan, bahkan Amerika bisa mencapai angka ratusan ribu. Total dunia
membutuhkan 2 juta per tahun untuk kebutuhan yang satu ini. Wah, butuh apa nih?
Ternyata, butuh tenaga perawat! (Pikiran Rakyat, 2006).
Beberapa tahun terakhir ini, pengiriman yang cukup hangat di berbagai
kalangan. Di tengah semakin meningkatnya jumlah pengangguran terdidik dari
tahun ke tahun, tentu merupakan hal yang melegakan bahwa perawat dari Indonesia
dilaporkan berpeluang bekerja di Amerika Serikat (AS) dan negara-negara di
Benua Eropa (Inggris, Belanda, Norwegia), Timur Tengah (Saudi Arabia, Uni
Emirat Arab, Kuwait) dan kawasan Asia Tenggara (Singapura, Malaysia). Jumlah
permintaan berkisar antara 30 orang sampai dengan tidak terbatas.
Kekurangan perawat di dalam negeri merupakan alasan utama negara-negara
tersebut untuk menerima tenaga dari luar negeri. Di AS, misalnya, pada 2005
mengalami kekurangan 150.000 perawat, pada 2010 jumlah tersebut menjadi
275.000, pada 2015 sejumlah 507.000, dan pada 2020 menjadi 808.000 perawat.
Namun demikian, kekurangan tersebut tersebut menyebabkan mereka lebih berfokus
pada bagaimana menghasilkan perawat yang lebih banyak, bukan untuk mencetak
perawat yang berpendidikan lebih baik (Bartels JE, 2005).
Di Indonesia, Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia
Kesehatan (PPSDM Kesehatan) melaporkan bahwa jumlah terbesar Tenaga Kesehatan
Profesional Indonesia (TKPI) yang telah bekerja di luar negeri mulai 1989
sampai dengan 2003 adalah perawat (97.48% dari total sebanyak 2494 orang).
Meskipun jumlah perawat yang bekerja di luar negeri menempati prosentase
terbesar dibandingkan tenaga kesehatan yang lain, masih terdapat beberapa poin
penting yang perlu menjadi perhatian dan ditanggulangi mulai dari saat ini.
Dari beberapa laporan diketahui bahwa kendala utama yang dihadapi oleh para
perawat Indonesia adalah kemampuan berbahasa Inggris dan keterampilan yang
masih kurang. Berkenaan dengan ketrampilan perawat Indonesia yang masih kurang,
terlihat dari segi skoring NLEX (National License Examination) yang masih
rendah. Ujian NLEX sendiri merupakan prasyarat perawat Indonesia untuk dapat
bekerja di luar negeri. Sebagai gambaran, skor yang diperoleh perawat Indonesia
adalah angka 40. Padahal skoring yang dibutuhkan untuk bekerja di Eropa antara
50 sampai 70 dan di AS antara 70 sampai 80 (Pusdiknakes, 2007).
Dua hal tersebut tampaknya perlu untuk segera ditanggulangi selain
faktor-faktor lain yang belum teridentifikasi dalam tulisan ini. Beranjak dari
hal inilah sebenarnya lembaga pendidikan keperawatan di Indonesia dapat mulai
ikut berperan aktif dalam merumuskan strategi yang tepat dalam mendidik calon
perawat. Laporan tentang pengalaman perawat yang berkerja di luar negeri perlu
disampaikan dalam tulisan ini agar kita dapat memperoleh gambaran yang lebih
menyeluruh. Sampai saat ini penulis belum menemukan laporan penelitian yang
terkait dengan pengalaman perawat Indonesia yang bekerja di luar negeri. Di
lain pihak, kebanyakan laporan penelitian di negara lain terkait topik tersebut
menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Dilaporkan bahwa alasan yang
mendorong seorang perawat untuk bekerja di luar negeri antara lain gaji yang
lebih tinggi, prospek karir dan pendidikan yang lebih menjanjikan (Buchan,
J. & Calman, L, 2007).
Pada review penelitian oleh Magnusdottir (2005), penelitian Yi &
Jezewski (2000) tentang penyesuaian diri 12 Perawat Korea yang bekerja di rumah
sakit di AS melaporkan bahwa pada 2-3 tahun pertama mereka bekerja ditandai
dengan usaha mengurangi stress psikologis, mengatasi kendala bahasa, dan
menyesuaikan diri dengan praktek keperawatan di USA. Kemudian pada 5 - 10 tahun
kemudian ditandai dengan belajar mengadopsi strategi penyelesaian masalah
menurut budaya AS dan memelihara hubungan interpersonal. Mereka yang berhasil
dalam proses tersebut dilaporkan merasa puas. Kendala-kendala di atas merupakan
tantangan bagi perawat Indonesia untuk menunjukkan kemampuannya dalam upaya memenangkan persaingan di
tingkat global.